Shalat fardhu
Shalat fardhu atau Shalat lima waktu wajib dilaksanakan tepat pada
waktunya, berdasarkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(An-Nisaa’: 103).
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah
ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia
mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa.
Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban Shalat sama
sekali dan ada pula yang tidak menggugurkannya sebagaimana akan
dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
Hal-Hal yang Menggugurkan Shalat
Ada sejumlah halangan atau uzur yang dapat menggugurkan Shalat dari seseorang, yaitu :
1. Haid dan Nifas
Wanita yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan menunaikan Shalat.
Juga tidak wajib mengqadha Shalat-Shalat yang ditinggalkan di saat haid
dan nifas tersebut, sekalipun dia harus mengqadha puasa. Hal ini
berdasarkan sabda Rasul saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Jika
tenyata darah yang keluar itu haid, maka hentikanlah Shalat.”
2. Gila
Kewajiban Shalat itu gugur dari orang gila yang terus-menerus. Namun,
orang gila yang kumat-kumatan, ketika sadar wajib mengerjakan Shalat.
Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Beban taklif itu diangkat
(oleh Allah) dari tiga golongan: orang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai ia baligh, dan orang gila sampai dia sadar kembali.” (HR Ahmad,
Ashabus Sunan, dan Hakim).
3. Pingsan.
Kewajiban Shalat akan gugur dari orang yang pingsan jika pingsannya
berlangsung dalam dua waktu Shalat yang bisa dijamak, seperti seseorang
pingsan sebelum masuk waktu Dzuhur sampai dengan matahari terbenam.
4. Murtad
Seseorang yang murtad (keluar dari Islam) kemudian masuk Islam kembali,
maka hukumnya sama dengan orang kafir asli, yakni dia tidak wajib
mengqadha Shalat. Tetapi, menurut ulama Syafi’i ia wajib mengqadha semua
Shalat yang ia tinggalkan ketika murtad sebagai hukuman kepadanya.
Hal-Hal yang Membolehkan Mengakhirkan Shalat
1. Tidur
2. Lupa
Dalil Hadits:
Adapun halangan yang membolehkan seseorang mengakhirkan Shalat
dari waktunya, dan tidak berdosa karenanya ialah tidur, lupa, dan lalai.
1. Diterima dari Abu Qatadah, para sahabat menceritakan kepada
Rasulullah saw perihal tidur mereka yang menyebabkan tertunda Shalatnya,
maka Rasul bersabda, “Sesungguhnya tidaklah termasuk keteledoran karena
tidur, tetapi keteledoran itu di waktu terjaga. Karena itu, jika
seseorang di antaramu lupa Shalat atau tertidur hingga meninggalkan
Shalat, hendaklah ia melakukannya bila telah ingat atau sadar kembali.”
(HR Nasa’i dan Timidzi seraya menyatakannya sebagai hadis yang sahih).
2. Dari Anas ra, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa lupa mengerjakan
Shalat, hendaklah mengerjakannya bila telah ingat, dan selain itu tidak
ada kewajiban kaffarat yang lain.” (HR al-Khamsah/lima imam hadis).
3. Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Bila
seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan Shalat atau lupa
mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakannya jika telah ingat, karena
Allah berfirman, ‘dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku’.” (Thaha:
14).
4. Dari Abu Qatadah ra, “Pada suatu malam kami bepergian bersama
Rasulullah saw, salah seorang di antara kami berkata, ‘Tidakkah lebih
baik kita beristirahat ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Saya khawatir
kalian akan tertidur sehingga meninggalkan Shalat’. Bilal berkata, ‘Saya
akan membangunkan kalian,’ Kemudian tidurlah semuanya. Sementara itu,
Bilal menyandarkan punggungnya pada kendaraannya dan nampaknya ia tidak
kuat menahan kantuk hingga akhirnya ia tertidur. Kemudian Nabi saw
bangun di saat matahari telah naik tinggi, maka beliau bersabda, ‘Hai
Bilal mana janjimu?’ Sungguh, saya tak pernah mengalami seperti ini’,
jawab Bilal. Nabi bersabda lagi, ‘Allah mencabut roh-roh kalian kapan
saja Dia mau, Dia akan mengembalikannya kepadamu kapan saja Dia mau. Hai
Bilal, berdirilah dan serukanlah azan Shalat untuk orang banyak’.
Kemudian, beliau berwudhu. Ketika matahari telah tinggi dan bersinar
terang beliau Shalat dengan berjama’ah bersama mereka.” (HR al-Khamsah,
dan redaksi ini adalah redaksi Bukhari dan Nasa’i). Menurut riwayat
Ahmad orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya Shalat ini
kita kerjakan besok pada waktunya?” Rasul menjawab, “Bukankah Allah
telah melarangmu melakukan riba lalu akan menerimanya darimu?”
Qadha lewat waktunya krn uzur: tidur atau lupa
Apabila seseorang mengakhirkan Sholat hingga lewat waktunya,
kerana uzur seperti tidur atau lupa, maka wajiblah baginya untuk
men-qadla Sholat yang ditinggalkan tesebut. Dan apabila ia meninggalkan
Sholat dengan sengaja dan tanpa uzur, maka itu termasuk perbuatan
ma’siat, dan wajib baginya meng-qadla Sholat tersebut dan bertaubat.
Dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dari Anas bin Malik, Rasulullah
bersabda :”Barang siapa tertidur dan meninggalkan Sholat, maka hendaklah
ia bergegas Sholat ketika ingat”. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika
kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para
sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat
untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal “Berjaga-jagalah
malam ini”, kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga.
Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu
fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada
arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun
dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang
pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada
Bilal, “Hai Bilal”, kemudian Bilal menjawab “telah menimpa padaku
seperti yang menimpa padamu ya Rasul”(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW
berkata pada para sahabat “Tambatkan tunggangan kalian”, kemudian para
sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada
Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat
(qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda
“Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia
mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman “Dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku”.
Wajib qadla shalat yang ditinggalkan
Ini Menurut Pendapat empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali dan berdasarkan perintah dan tindakan yang dilakukan oleh
Rasulullah s.a.w. Pandangan yang mengatakan tidak wajib qadha’
adalah pendapat Imam Ibn Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh
Umar bin Khattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain.
Hujah mereka: Islam telah mewajibkan solat dan tidak boleh
menangguhkannya walaupun sakit, musafir dalam peperangan; ditegaskan
oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha’ solat yang tertinggal,
cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya.
Orang-orang yang mewajibkan qadha’ berhujjah bahwa jika qadha’ ini
diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma’afkan,
maka kewajibannya atas orang yang tidak dima’afkan dan orang yang
durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu
Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak
tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar
lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban
qadha’ ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.
Tidak Mewajibkan Qadha bagi yg menunda shalat dg sengaja
Golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di
dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil
untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah
apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang
dituturkan, kewajiban qadha’ ini tertuju kepada orang yang lupa dan
tertidur. Berati yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari’at
itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti
Jum’at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali
dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda
hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa
mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam,
maka dia telah mendapatkan shalat Ashar”, sekiranya shalat Ashar itu
dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu
orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu
raka’at atau kurang dari satu raka’at atau dia sama sekali tidak
mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga
diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua
itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada
rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat
mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak
mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini
menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua
yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.
Ibnu Taimiyah: Tidak wajib qadha bg yg sengaja meninggalkan shalat
Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di
dalam ‘Al-Ikhiyarat’. Dia berkata, “Orang yang meninggalkan shalat
secara sengaja, tidak disyari’atkan qadha’ bagi dirinya dan tidak sah
qadha’nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu’. Ini juga merupakan
pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan
Asy-Syafi’i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang
bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang
condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam
kitabnya, ‘Ar-Raudhatun Nadiyyah’.
Cara Mengerjakan Shalat Qadha
Barangsiapa tertinggal mengerjakan Shalat, maka wajib mengqadhanya
sesuai dengan cara dan sifat-sifat Shalat yang tertinggal itu. Jika
seorang musafir yang menempuh jarak qashar tertinggal Shalat yang empat
rakaat, ia mengqadhanya dua rakaat, sekalipun dikerjakan di rumah.
Tetapi, menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, dalam keadaan terakhir ini,
ia mengqadhanya empat rakaat, sebab hukum asal Shalat adalah itmam
(menyempurnakan Shalat empat rakaat). Karena itu, ketika di rumah,
Shalat dengan itmamlah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, jika seorang
mukmin tidak dalam perjalanan (di rumah) tertinggal Shalat yang empat
rakaat, maka ia harus mengqadhanya empat rakaat pula sekalipun
dikerjakan dalam perjalanan. Demikian juga, jika ia tertinggal Shalat
sirriyyah (yang bacaannya pelan) seperti Dzuhur, maka di waktu
mengqadhanya harus secara sirri pula, sekalipun dikerjakan di malam
hari. Sebalikmya, jika ia tertinggal Shalat Jahrriyyah (yang bacaannya
keras) seperti Shalat Subuh, maka mengqadhanya pun harus keras pula,
sekalipun dikerjakan di siang hari. Akan tetapi, menurut ulama Syafi’i
yang menjadi patokan adalah waktu di mana qadha itu dilaksanakan. Jadi,
seandainya qadha itu dilaksanakan pada malam hari, maka bacaannya harus
dikeraskan, sekalipun yang diqadha itu Shalat sirriyyah. Dan sebaliknya,
jika di siang hari maka bacaan Shalat harus dipelankan walaupun yang
diqadhanya itu Shalat jahriyyah.
Dalam mengqadha Shalat yang tertinggal (Shalat faa’itah) hendaknya
diperhatikan tertib urutannya satu dengan yang lain. Qadha Shalat Subuh
dikerjakan sebelum qadha Dzuhur, dan qadha Dzuhur sebelum Shalat Ashar.
Di samping itu, hendaklah diperhatikan pula urutan Shalat faa’itah
dengan Shalat pada waktunya (Shalat haadhirah). Maka, apabila Shalat
faa’itah itu kurang dari lima waktu atau hanya lima waktu, Shalat
haadhirah tidak boleh dikerjakan dulu sebelum Shalat faa’itah dikerjakan
dengan tertib, selama tidak dikhawatirkan habisnya waktu Shalat
haadhirah.
Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Ketika Perang Khandaq kaum musyrikin
terlalu menyibukkan Rasulullah sampai-sampai empat Shalat tertinggal,
dan waktu pun telah larut malam sejalan dengan kehendak Allah. Kemudian,
beliau menyuruh Bilal untuk menyerukan azan. Bilal pun menyerukannya
lalu membacakan iqamah, maka beliau Shalat Dzuhur, lalu berdiri lagi dan
mengerjakan Ashar, berdiri lagi mengerjakan Shalat Maghrib, kemudian
berdiri lagi untuk mengerjakan Shalat Isya’.” (HR Tirmidzi dan Nasa’i.
Peristiwa ini terjadi sebelum ada perintah Shalat Khauf).
Ulama Hanafi berpendapat, jika seseorang setelah mengerjakan Shalat
haadhirah teringat akan Shalat faa’itah yang belum dikerjakannya,
batallah Shalat haadhirahnya. Orang itu harus mengerjakan Shalat
faa’itah dulu dan setelah itu mengulangi Shalat haadhirah. Namun,
menurut ulama yang lain, ia tidak harus mengulangi Shalat haadhirah.
Sedang menurut ulama Maliki, sunnah mengulangi lagi Shalat haadhirah
setelah mengerjakan faa’itah.
Jika Shalat faa’itah itu enam waktu atau lebih, maka dalam
mengerjakannya tidah harus tertib, boleh dikerjakan sebelum Shalat
haadhirah ataupun sesudahnya.
Mengqadha Shalat boleh dilakukan setiap saat, kecuali pada tiga waktu
yang dilarang Shalat, yaitu ketika matahari terbit, matahari berada
tepat di tengah langit (waktu istiwa’), dan ketika matahari terbenam.
Juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa Shalat yang tertinggal,
sebab pengertian qadha adalah melakukan Shalat yang telah lewat
waktunya.
Mengqadha Shalat wajib dilakukan dengan segera, baik Shalat itu
tertinggal karena sesuatu uzur yang tidak menggugurkan kewajibannya
ataupun tanpa uzur sama sekali, dan qadha ini tidak boleh ditunda-tunda
kecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki dan
menuntut ilmu yang wajib ‘ain baginya, begitu juga makan dan tidur.
Dengan hanya mengqadha Shalat bukan berarti seseorang telah bebas dari
dosa (karena menunda Shalat tanpa uzur), tetapi ia masih harus
bertaubat, sebagaimana taubat tidak bisa menggugurkan kewajiban Shalat,
namun harus disertai mengqadha pula. Hal ini karena salah satu syarat
bertaubat adalah menghilangkan perbuatan dosa, sedang orang yang
bertaubat tanpa mengqadha belum berarti ia telah menghilangkan perbuatan
dosa tersebut.
Barangsiapa tertinggal sejumlah Shalat, tetapi ia lupa atau tidak
tahu persis berapa jumlahnya, maka ia harus mengerjakan qadha sampai
merasa yakin bahwa kewajibannya telah terpenuhi.
Qadha tidak wajib bagi yg haid
Sholat yang ditinggalkan karena Haid tidak wajib diqadla. Definisi Ada’
adalah menjalankan ibadah di dalam waktunya. Sedangkan Qadla adalah
menjalankan ibadah setelah lewat waktunya.