Shalat fardhu

Shalat fardhu atau Shalat lima waktu wajib dilaksanakan tepat pada waktunya, berdasarkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’: 103).
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban Shalat sama sekali dan ada pula yang tidak menggugurkannya sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
Hal-Hal yang Menggugurkan Shalat
Ada sejumlah halangan atau uzur yang dapat menggugurkan Shalat dari seseorang, yaitu :
1. Haid dan Nifas
Wanita yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan menunaikan Shalat. Juga tidak wajib mengqadha Shalat-Shalat yang ditinggalkan di saat haid dan nifas tersebut, sekalipun dia harus mengqadha puasa. Hal ini berdasarkan sabda Rasul saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Jika tenyata darah yang keluar itu haid, maka hentikanlah Shalat.”
2. Gila
Kewajiban Shalat itu gugur dari orang gila yang terus-menerus. Namun, orang gila yang kumat-kumatan, ketika sadar wajib mengerjakan Shalat. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Beban taklif itu diangkat (oleh Allah) dari tiga golongan: orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai dia sadar kembali.” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Hakim).
3. Pingsan.
Kewajiban Shalat akan gugur dari orang yang pingsan jika pingsannya berlangsung dalam dua waktu Shalat yang bisa dijamak, seperti seseorang pingsan sebelum masuk waktu Dzuhur sampai dengan matahari terbenam.
4. Murtad
Seseorang yang murtad (keluar dari Islam) kemudian masuk Islam kembali, maka hukumnya sama dengan orang kafir asli, yakni dia tidak wajib mengqadha Shalat. Tetapi, menurut ulama Syafi’i ia wajib mengqadha semua Shalat yang ia tinggalkan ketika murtad sebagai hukuman kepadanya.
Hal-Hal yang Membolehkan Mengakhirkan Shalat
1. Tidur
2. Lupa
Dalil Hadits:
Adapun halangan yang membolehkan seseorang mengakhirkan Shalat dari waktunya, dan tidak berdosa karenanya ialah tidur, lupa, dan lalai.
1. Diterima dari Abu Qatadah, para sahabat menceritakan kepada Rasulullah saw perihal tidur mereka yang menyebabkan tertunda Shalatnya, maka Rasul bersabda, “Sesungguhnya tidaklah termasuk keteledoran karena tidur, tetapi keteledoran itu di waktu terjaga. Karena itu, jika seseorang di antaramu lupa Shalat atau tertidur hingga meninggalkan Shalat, hendaklah ia melakukannya bila telah ingat atau sadar kembali.” (HR Nasa’i dan Timidzi seraya menyatakannya sebagai hadis yang sahih).
2. Dari Anas ra, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa lupa mengerjakan Shalat, hendaklah mengerjakannya bila telah ingat, dan selain itu tidak ada kewajiban kaffarat yang lain.” (HR al-Khamsah/lima imam hadis).
3. Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Bila seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan Shalat atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakannya jika telah ingat, karena Allah berfirman, ‘dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku’.” (Thaha: 14).
4. Dari Abu Qatadah ra, “Pada suatu malam kami bepergian bersama Rasulullah saw, salah seorang di antara kami berkata, ‘Tidakkah lebih baik kita beristirahat ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Saya khawatir kalian akan tertidur sehingga meninggalkan Shalat’. Bilal berkata, ‘Saya akan membangunkan kalian,’ Kemudian tidurlah semuanya. Sementara itu, Bilal menyandarkan punggungnya pada kendaraannya dan nampaknya ia tidak kuat menahan kantuk hingga akhirnya ia tertidur. Kemudian Nabi saw bangun di saat matahari telah naik tinggi, maka beliau bersabda, ‘Hai Bilal mana janjimu?’ Sungguh, saya tak pernah mengalami seperti ini’, jawab Bilal. Nabi bersabda lagi, ‘Allah mencabut roh-roh kalian kapan saja Dia mau, Dia akan mengembalikannya kepadamu kapan saja Dia mau. Hai Bilal, berdirilah dan serukanlah azan Shalat untuk orang banyak’. Kemudian, beliau berwudhu. Ketika matahari telah tinggi dan bersinar terang beliau Shalat dengan berjama’ah bersama mereka.” (HR al-Khamsah, dan redaksi ini adalah redaksi Bukhari dan Nasa’i). Menurut riwayat Ahmad orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya Shalat ini kita kerjakan besok pada waktunya?” Rasul menjawab, “Bukankah Allah telah melarangmu melakukan riba lalu akan menerimanya darimu?”
Qadha lewat waktunya krn uzur: tidur atau lupa
Apabila seseorang mengakhirkan Sholat hingga lewat waktunya, kerana uzur seperti tidur atau lupa, maka wajiblah baginya untuk men-qadla Sholat yang ditinggalkan tesebut. Dan apabila ia meninggalkan Sholat dengan sengaja dan tanpa uzur, maka itu termasuk perbuatan ma’siat, dan wajib baginya meng-qadla Sholat tersebut dan bertaubat.
Dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :”Barang siapa tertidur dan meninggalkan Sholat, maka hendaklah ia bergegas Sholat ketika ingat”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal “Berjaga-jagalah malam ini”, kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, “Hai Bilal”, kemudian Bilal menjawab “telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul”(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat “Tambatkan tunggangan kalian”, kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
Wajib qadla shalat yang ditinggalkan
Ini Menurut Pendapat empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dan berdasarkan perintah dan tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Pandangan yang mengatakan tidak wajib qadha’ adalah pendapat Imam Ibn Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh Umar bin Khattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain. Hujah mereka: Islam telah mewajibkan solat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha’ solat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya.
Orang-orang yang mewajibkan qadha’ berhujjah bahwa jika qadha’ ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma’afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima’afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha’ ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.
Tidak Mewajibkan Qadha bagi yg menunda shalat dg sengaja
Golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha’ ini tertuju kepada orang yang lupa dan tertidur. Berati yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari’at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti Jum’at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar”, sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka’at atau kurang dari satu raka’at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.
Ibnu Taimiyah: Tidak wajib qadha bg yg sengaja meninggalkan shalat
Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di dalam ‘Al-Ikhiyarat’. Dia berkata, “Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyari’atkan qadha’ bagi dirinya dan tidak sah qadha’nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu’. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi’i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, ‘Ar-Raudhatun Nadiyyah’.
Cara Mengerjakan Shalat Qadha
Barangsiapa tertinggal mengerjakan Shalat, maka wajib mengqadhanya sesuai dengan cara dan sifat-sifat Shalat yang tertinggal itu. Jika seorang musafir yang menempuh jarak qashar tertinggal Shalat yang empat rakaat, ia mengqadhanya dua rakaat, sekalipun dikerjakan di rumah. Tetapi, menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, dalam keadaan terakhir ini, ia mengqadhanya empat rakaat, sebab hukum asal Shalat adalah itmam (menyempurnakan Shalat empat rakaat). Karena itu, ketika di rumah, Shalat dengan itmamlah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, jika seorang mukmin tidak dalam perjalanan (di rumah) tertinggal Shalat yang empat rakaat, maka ia harus mengqadhanya empat rakaat pula sekalipun dikerjakan dalam perjalanan. Demikian juga, jika ia tertinggal Shalat sirriyyah (yang bacaannya pelan) seperti Dzuhur, maka di waktu mengqadhanya harus secara sirri pula, sekalipun dikerjakan di malam hari. Sebalikmya, jika ia tertinggal Shalat Jahrriyyah (yang bacaannya keras) seperti Shalat Subuh, maka mengqadhanya pun harus keras pula, sekalipun dikerjakan di siang hari. Akan tetapi, menurut ulama Syafi’i yang menjadi patokan adalah waktu di mana qadha itu dilaksanakan. Jadi, seandainya qadha itu dilaksanakan pada malam hari, maka bacaannya harus dikeraskan, sekalipun yang diqadha itu Shalat sirriyyah. Dan sebaliknya, jika di siang hari maka bacaan Shalat harus dipelankan walaupun yang diqadhanya itu Shalat jahriyyah.
Dalam mengqadha Shalat yang tertinggal (Shalat faa’itah) hendaknya diperhatikan tertib urutannya satu dengan yang lain. Qadha Shalat Subuh dikerjakan sebelum qadha Dzuhur, dan qadha Dzuhur sebelum Shalat Ashar. Di samping itu, hendaklah diperhatikan pula urutan Shalat faa’itah dengan Shalat pada waktunya (Shalat haadhirah). Maka, apabila Shalat faa’itah itu kurang dari lima waktu atau hanya lima waktu, Shalat haadhirah tidak boleh dikerjakan dulu sebelum Shalat faa’itah dikerjakan dengan tertib, selama tidak dikhawatirkan habisnya waktu Shalat haadhirah.
Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Ketika Perang Khandaq kaum musyrikin terlalu menyibukkan Rasulullah sampai-sampai empat Shalat tertinggal, dan waktu pun telah larut malam sejalan dengan kehendak Allah. Kemudian, beliau menyuruh Bilal untuk menyerukan azan. Bilal pun menyerukannya lalu membacakan iqamah, maka beliau Shalat Dzuhur, lalu berdiri lagi dan mengerjakan Ashar, berdiri lagi mengerjakan Shalat Maghrib, kemudian berdiri lagi untuk mengerjakan Shalat Isya’.” (HR Tirmidzi dan Nasa’i. Peristiwa ini terjadi sebelum ada perintah Shalat Khauf).
Ulama Hanafi berpendapat, jika seseorang setelah mengerjakan Shalat haadhirah teringat akan Shalat faa’itah yang belum dikerjakannya, batallah Shalat haadhirahnya. Orang itu harus mengerjakan Shalat faa’itah dulu dan setelah itu mengulangi Shalat haadhirah. Namun, menurut ulama yang lain, ia tidak harus mengulangi Shalat haadhirah. Sedang menurut ulama Maliki, sunnah mengulangi lagi Shalat haadhirah setelah mengerjakan faa’itah.
Jika Shalat faa’itah itu enam waktu atau lebih, maka dalam mengerjakannya tidah harus tertib, boleh dikerjakan sebelum Shalat haadhirah ataupun sesudahnya.
Mengqadha Shalat boleh dilakukan setiap saat, kecuali pada tiga waktu yang dilarang Shalat, yaitu ketika matahari terbit, matahari berada tepat di tengah langit (waktu istiwa’), dan ketika matahari terbenam. Juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa Shalat yang tertinggal, sebab pengertian qadha adalah melakukan Shalat yang telah lewat waktunya.
Mengqadha Shalat wajib dilakukan dengan segera, baik Shalat itu tertinggal karena sesuatu uzur yang tidak menggugurkan kewajibannya ataupun tanpa uzur sama sekali, dan qadha ini tidak boleh ditunda-tunda kecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki dan menuntut ilmu yang wajib ‘ain baginya, begitu juga makan dan tidur. Dengan hanya mengqadha Shalat bukan berarti seseorang telah bebas dari dosa (karena menunda Shalat tanpa uzur), tetapi ia masih harus bertaubat, sebagaimana taubat tidak bisa menggugurkan kewajiban Shalat, namun harus disertai mengqadha pula. Hal ini karena salah satu syarat bertaubat adalah menghilangkan perbuatan dosa, sedang orang yang bertaubat tanpa mengqadha belum berarti ia telah menghilangkan perbuatan dosa tersebut.
Barangsiapa tertinggal sejumlah Shalat, tetapi ia lupa atau tidak tahu persis berapa jumlahnya, maka ia harus mengerjakan qadha sampai merasa yakin bahwa kewajibannya telah terpenuhi.
Qadha tidak wajib bagi yg haid
Sholat yang ditinggalkan karena Haid tidak wajib diqadla. Definisi Ada’ adalah menjalankan ibadah di dalam waktunya. Sedangkan Qadla adalah menjalankan ibadah setelah lewat waktunya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

tayamum


Tayamum adalah menyapukan tanah (debu) yang suci ke muka dan kedua tangan, dengan niat untuk membolehkan bershalat dan sebagainya. Dasarnya adalah firman Allah Swt, …dan apabila kamu sakit atau sedang dalam perjalanan (sebagai musafir) atau datang dari tempat buang air atau melakukan persentuhan dengan perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah dengan tanah yang suci…” (QS. An-Nisa’ [4]: 43).
Sebelum ini telah dijelaskan  bahwa wudhu atau mandi wajib adalah bagian dari cara membersihkan diri bukan saja secara jasmani tetapi juga ruhani dalam persiapan menghadap Allah Swt, baik dengan shalat, tilawat Al-Quran, atau lainnya. Oleh sebab itu apabila seseorang terhalang dari berwudhu atau mandi wajib karna tidak ada air atau sedang menderita sakit, maka sebgai gantinya ia dapat bertayamum. Walaupun tidak memenuhi aspek kebersihan jasmani, namun tayamum cukup memenuhi aspek kebersihan  ruhani, sebagai pemisah antara amalan duniawi dan amalan ibadah mahdhah seperti shalat dan sebaginya.
Tayamum juga merupakan keringanan (rukhshah) yang berlaku karena adanya salah satu di antara sebab-sebab berikut:
  1. Tidak mendapatkan air sama sekali, atau ada air tetapi tidak cukup untuk bersuci. Namun terlebih dahulu ia harus mencarinya di sekitarnya, atatu pada para tetangga atau kawan seperjalanan, atau membelinya dengan harga yang wajar bila mampu. Dan apabila telah memperoleh keyakinan akan tidak adanya air, atau letaknya terlalu jah, maka tidaklah wajib ia mencarinya, dan boleh langsung bertayammum.
  2. Apabila ia mengetahui adanya air tidak jauh dari tempatnya namun perjalan ke sana tidask aman bagi keselamatan dirinya, keluarganya, hartanya ataupun kehormatannya, Atau tidak ada alat yang diperlukan untuk mengambil air tersebut, seperti tali, timba dan sebagainya. Atau ia sedang terpenjara sehingga tidak berdaya pergi ke tempat tersedianya air. Semua itu menjadi alasan baginya untuk bertayammum.
  3. Dalam keadaan cuaca amat dingin sehingga khawatir bila mandi dengan air dingin dapat membayakan kesehatannya, maka ia diperbolekan bertayammum, dengan syarat tidak mampu memanaskan air walaupun dengan membayar biaya yang wajar untuk itu.
  4. Apabila menderita sakit atau luka yang menurut pengalaman sendiri, atau keterangan dokter atau orang lain yang berpengalaman akan bertambah parah atau memperlambat kesembuhannya, jika ia menggunakan air.
  5. Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali, dan diperlukan di waktu sekarang atau masa depan yang dekat untuk minuman atau minum orang lain, atau binatang (walaupun seekor anjing) atau untuk memasak makanannya, atau mencuci pakaian shalatnya yang terkena najis. Dalam keadaan seperti itu, ia dibolehkan bertayamum dan menimpan air itu untuk keperluannya yang lain, seperti tersebut di atas.
Selain faktor-faktor seperti di atas, yang membolehkan dilakukannya tayamum (sebagai pengganti wudhu atau mandi), Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa keadaan seseorang sebagai musafir, juga merupakan penyebab tersendiri diobolehkannya tayamum, tanpa dikaitkan dengan ada atau tidak adanya air. Karena, katanya, apa gunaya menyebutkan tentang musafir secara khusus dalam QS. An-Nisa’ 43 (sebagai salah seorang yang dibolehkan bertayamum), jika hukumnya sama saja dengan orang berhadats yang tidak mendapat air? Padahal Al-Quran adalah kitab Allah yang diakui kefasihannya oleh semua orang, tak ada kata-kata di dalamnya yang tercantum secara sia-sia, tanpa makna. “Ayat ini jelas sekali bermakna bahwa hukum agama mengenai orang yang sedang sakit dan musafir apabila hendak bershalat, adalah sama dengan orang yang berhadas kecil maupun berhadas besar yang tidak mendapat air. Mereka semua cukup bertayamum saja. Begitulahyang dapat dipahami oleh setiap pembaca ayat tersebut selama ia tidak memaksakan diri untuk menyesuaikannya dengan pendapat mazhab manapun di luar Al-Quran, “ begitu komentarnya. Selanjutnya ia menujukan kecamannya kepada para musafir yang tidak mau memahami Al-Quran seperti apa adanya, tetapi lebih senang mencari-cari alasan pembenaran bagi pendapat mazhab-mazhab fiqih yang sudah mapan (yang hanya membolehkan tayamum bagi musafir yang kebetulan tidak mendapat air saja). Padahal pendapat seperti itu, jelas sekali tidak dapat disimpulkan dari ayat tersebut, kecuali dengan penakwilan yang dibuat-buat. Sedemikian, sehingga banyak di antara mereka menyebut ayat itu sebagai salah satu ‘kemusykilan’ itu, saya telah bersusah payah dengan membaca sedikitnya duapuluh lima kitab tafsir, namun semuanya sama sekali tidak memuaskan, karena selalu berbelit-belit. Dan ketika saya kembali menyimak Al-Quran secara langsung, barulah saya dapati maknanya terang benderang tak mengandung sedikitpun kemusykilan.”
Keringanan seperti itu bagi seorang musafir adalah wajar-wajar saja, sama dan sejalan dengan keringanan-keringanan lain yang diberikan kepada musafir. Seperti meng-qasar dan menjamak shalat, serta menunda puasa Ramadhan sampai hari lain. Maka apakah dianggap aneh bila si musafir dibolehkan menggantikan wudhu dan mandinya dengna tayamum, sedangkan hal itu berada di bawah tingatan shalat dan puasa, dalam pandangan agama?” (Sayyid Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar V/119).
Cara Bertayamum.
  1. Niat. Sebagaimana telah dijelaskan dalam cara berwudhu, niat ialah menyengaja melakukan sesuatu demi meraih keridhaan Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Dalam hal ini, hendaknya diniatkan bertayamum sebagai pengganti wudhu (dalam hadas kecil), atau pengganti mandi (dalam hadas besar), agar dibolehkan melaksanakan shalat dan sebagainya.
  2. Setelah berniat untuk bertayamum, disunnahkan membaca basmalah, lalu menepukkan kedua telapak tangan di atas tanah, pasir, batu, bantal, dinding atau apa saja yang diperkirakan berdebu (tetapi hars bersih, tidak berupa zat najis atau tercemar zat najis). Kemudian meniupi atau menggerak-gerakkan kedua tangannya itu sehingga kedua-duanya saling berbenturan, untuk menepiskan debu yang masih melekat pada kedua tangannya. Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ II/222.
  3. Menyapukan kedua telapak tangannya itu ke wajah dan kedua tangan sampai pergelangan, masing-masing cukup satu kali saja. Menurut sebuah hadis yang dirawikan oleh oleh Bukhari Muslim, dari ‘Ammar r.a, katanya, “Aku pernah berjanabat dan kebetulan tidak ada air untukmandi. Maka aku pun berguling-guling di atas tanah (maksudnya untuk bertayamum karena tidak ada air.-Pen), dan setelah itu aku shalat. Ketika hal ini kemudian kusampaikan kepada Rasulullah Saw., berliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau cukup berbuat seperti ini.’ Lalu beliau menepukkan kedua telapak tangannya ke atas tanah, lalu meniupnya (untuk menepiskan kelebihan tanah yang melekat, -Pen) dan setelah itu mnyepukannya ke wajah dan kedua tangan beliau sampai di pergelangan.” Dalam Hadis ini, jelas bahwa beliau hanya satu kali saja menepukkan tangan ke atas tanah. Dan seperti itu pula pendpat Syafi’I (dalam mazhab yang terdahulu), Ahmad, Daud, dan Ibn Munjdzir. Akan tetapi, berhubung ada hadis lainnya yang menyebutkan dua kali tepukan, maka Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’I (dalam mazhabnya yang kemudian) mewajibkan dua kali tepukan, masing-masing untuk muka dan kedua tangan. Demikian pula mengenai batas tangan yang harus disapu. Menurut Malik, Ahmad dan Daud Azh-Zahiri, wajibnya hanya sampai kedua pergelangan, tangan, seperti tersebut daslam hadis di atas. Sedasngkan Syafi’i dan Abu Hanifah mengharuskan menyapu sampai dengan kedua siku. Yakni seperti dalam wudhu dan juga berdasarkan hadis lain yang menyebutkan seperti itu.
Beberapa Hal Penting Berkaitan Dengan Tayammum.
  1. Sebelum bertayamum, hendaknya membersihkan muka dan kedua tangan dari segala suatu (seperti lilin, cat dan sebagainya) yang dapat dapat menghalangi sampainya sapuan.
  2. Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi dalam keadaan darurat, karena sebab-sebab tertentu seperti telah disebutkan sebelum ini. Oleh sebab itu, dengan bertayamum, seseorang boleh mengerjakan shalat, memegang mushaf Al-Quran dan sebagainya seperti yang dibolehkan baginya setelah berwudhu atau mandi.
  3. Dengan satu kali tayamum, dibolehkan mengerjakan shalat fardhu ataupun sunnah berapa saja yang dikehendaki, selama tayammumnya belum batal. Begitulah menurut Abu Hanifah, Daud dan Ahmad (dalam salah satu riwayat darinya). Akan tetapi Syafi’I, Malik serta Ahmad (dalam riwayat lainnya), hanya membolehkan satu kali tayamum untuk satu kali shalat fardhu dan beberapa kali shalat sunnah.
  4. Tayamum menjadi batal disebabkan hal-hal sebagai berikut:
    1. Segala suatu yang membatalkan wudhu dan mandi.
    2. Diperolehnya air bagi orang yang tadinya bertayamum karena tidak mendapatkan air.
    3. Setelah hilangnya halangan, bagi yang tadinya tidak dapat menggunakan air karena halangan tertentu, seperti sakit, kedinginan dan sebagainya.
    4. Apabila tersedia air setelah berakhirnya shalat, maka shalatnya itu sah dan tidak perlu diulangi, meskipun masih ada waktu. Akan tetapi ia harus berwudhu untuk shalat selanjutnya; atau mandi jika berhadas besar.
    5. Demikian pula seorang yang bertayamum sebagai pengganti mandi-wajib (mandi janabat), lalu mengerjakan shalat; tidak perlu mengulang shalatnya ketika setelah selesai shalatnya itu – memperoleh air atau mempu menggunakannya kembali. Akan tetapi, ia diharuskan mandi untuk shalat berikutnya.
Shalat Tanpa Wudhu dan Tanpa Tayamum.
  1. Seandainya seseorang tidak mampu berwudhu (karena sakit atau tidak ada air) dan bersamaan dengan itu juga tidak mampu bertayamum (karena tidak adanya tanahyang bersih atau ia dalam keadaan terbelenggu dan sebagainya) maka ia tetap wajib mengerjakan shalat, walaupun tanpa wudhu dan tanpa tayamu, dan dengan memenuhi rukun-rukun shalat sejauh kemampuan.
  2. Shalat dalam keadaan seperti itu, apabila terlaksana beberapa kali kali saja, sebaiknya diulangi (di-qadha) pada saat sudah berkesempatan wudhu lagi. Akan tetapi, apabila hal tersebut berlangsung untuk waktu yang cukup lama, tidak perlu diulang seluruhnya, karena aan menimbulkan kesulitan yang sangat. Ada beberapa pendapat ulama mengenai orang dalam keadaan seperti ini. Menurut Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri dan beberapa ulama lain, ia tidak wajib shalat waktu itu, tetapi harus mengunggu sampai mendapatkan air atau tanah yang bersih. Menurutu Ahmad (dan sebagian kalangan mazhab Maliki), wajib shalat dan tidak wajib mengulangi. Sedangkan menurut Syafi’I (demikian pula sebagian kalangan Mazhab Maliki lainnya) wajib shalat dengan cara apa pun yang mampu dikerjakan (yakni tidak harus memenuhi semua persyaratan) tetapi wajib mengulang shalatnya itu apabila keadaan telah menjadi normal kembali. Menurut pendapat terakhir ini, kewajiban shalat dalam keadan seperti itu, semata-mata demi menjaga kehormatan waktu shalat, sedangkan kewajiban mengulang adalah mengingat bahwa keadaan seperti itu, merupakan hal yang amat jarang. (An-Nawawi, Al-Majmu’ II/283)
Mengusap di Atas Pembalut (Perban atau Plaster Karena Luka)
  1. Seseorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudhu atau mandi akan menemabh parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya, dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah) anggota tubuhnya yang terluka. Apabila hal itu tetap membahayakan, hendaknya ia menutupi lukanya itu dengan penutup yang lebih kuat (plaster, perban, gips dan sebagainya) lalu membasuh anggota tubuhnya yang sehat sambil mengusapkan tangannya di atas pembalut tersebut. Setelah itu, sebagai pengganti bagian tubuhnya yang tertutup pembalut dan tidak terkena air, hendaklan ia bertayamum. Boleh juga ia mendahulukan tayamumnya sebelum wudhu atau mandi.
  2. Cara bersuci dengan mengusap di atas pembalut ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau luka itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut tersebut harus dibukan dan sejak itu harus bersuci kembali secara sempurna seperti sediakala.
  3. Membalutkan perban, gips dan sebagainya, boleh dilakukan setiap saat, dan tidak harus didahului oleh wudhu atau mandi secara sempurna. Juga tidak dibatasi oleh waktu tertentu, dan karenanya ia boleh mengusap di atasnya, dalam wudhu atau mandi, selama belum sembuh. Menurut mazhab Syafi’i, wajib mengulang shalatnya itu dalam keadaan seperti di bawah ini:
    1. Apabila pembalut itu terletak di bagian anggota tubuh yang wajib disapu dalam tayamum. (yakni di wajah atau kedua tangan).
    2. Apabila pembalut itu terlalu lebar sehingga menutupi bagian anggota tubuh yang tidak sakit (yakni lebih besar dasripada yang diperlukan untuk itu).
    3. Apabila pembalut tersebut diletakkan dalam keadaan wudhunya telah batal, atau ada zat najis di bawahnya (selain darah dari lukanya sendiri) yang tidak dibersihkan sebelumnya. Walaupun demikian, manurut banyak ahli fiqih lainnya, tidak wajib mengulang shalatnya itu, karena memang tidak ada nash yang pasti mengenai hal itu, selain akan menimbulkan kesulitan yang sangat, mengingat luka seperti itu mungkin baru sembuh setelah berbulan-bulan lamanya. (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah I/69)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Pecahan

Pecahan
Hai teman-teman
Matematika SMP Kelas 7 BAB 2 Pecahan
Ilmu kali ini yang akan kalian dapatkan adalah materi tentang pecahan.
Materi kali ini dibilang gampang, ya memang gampang. Tapi kalo dibilang susah, ya memang susah, mungkin karena pecahan membuat pikiran kira berputar-putar kale yaa
Tapi teman-teman jangan menyerah deh, sebenarnya sih kalo kita mau banyak mencoba soal-soal matematikanya dijamin deh ama saya, kalian pasti bisa. Mungkin bisa lebih canggih dari guru kalian Hehe..

"Bab ini berisi materi mengenai operasi tambah, kurang, kali, bagi, dan pangkat pada pecahan beserta sifat-sifatnya; cara mengubah bentuk pecahan ke bentuk pecahan yang lain; dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung pada pecahan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan."

Ini loh materi yang akan kita pelajari:
  1. Belajar pecahan
  2. Definisi bilangan pecahan
  3. Pecahan Matematik
  4. Pembagian dan bentuk-bentuk bilangan pecahan
  5. Pembagian bilangan pecahan
  6. Operasi hitung pecahan
  7. Pembulatan dan bentuk baku pecahan
  8. Soal bilangan pecahan
Wah kok sedikit sih?
Jangan disangka loh materi pecahan ini sedikit
Nantinya kita akan belajar lebih jauh tentang materi pecahan ini di postingan kami berikutnya.
Kalo rangkumannya sih ini dia:
Rangkuman
  • Pecahan adalah bilangan yang dapat dinyatakan sebagai dengan p, q bilangan bulat dan . Bilangan p disebut pembilang dan q disebut penyebut. 
  • Pecahan merupakan bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan.
  • Pecahan senilai adalah pecahan-pecahan yang bernilai sama.
  • Pecahan senilai diperoleh dengan cara mengalikan atau membagi pembilang dan penyebutnya dengan bilangan yang sama.
  • Suatu pecahan dapat disederhanakan dengan cara membagi pembilang dan penyebut pecahan tersebut dengan faktor persekutuan terbesarnya.
  • Jika penyebut kedua pecahan berbeda, untuk membandingkan pecahan tersebut, nyatakan menjadi pecahan yang senilai, kemudian bandingkan pembilangnya.
  • Pada garis bilangan, pecahan yang lebih besar berada di sebelah kanan, sedangkan pecahan yang lebih kecil berada di sebelah kiri. 
  • Di antara dua pecahan yang berbeda selalu dapat ditemukan pecahan yang nilainya di antara dua pecahan tersebut. 
  • Setiap bilangan bulat p, q dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan di mana p merupakan kelipatan dari q, .
  • Bentuk pecahan campuran dengan dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan biasa .
  • Untuk mengubah bentuk pecahan ke bentuk persen dapat dilakukan dengan cara mengubah pecahan semula menjadi pecahan senilai dengan penyebut 100. Jika hal itu sulit dilakukan maka dapat dilakukan dengan cara mengalikan pecahan tersebut dengan 100%.
  • Untuk menentukan hasil penjumlahan atau pengurangan dua pecahan, samakan penyebut kedua pecahan tersebut, yaitu dengan cara mencari KPK dari penyebut-penyebutnya,
    kemudian baru dijumlahkan atau dikurangkan pembilangnya.
  • Untuk menentukan hasil perkalian dua pecahan dilakukan dengan cara mengalikan pembilang dengan pembilang dan penyebut dengan penyebut.
  • Invers perkalian dari pecahan adalah atau invers perkalian dari adalah .
  • Suatu bilangan jika dikalikan dengan invers perkaliannya hasilnya sama dengan 1.
  • Untuk sebarang pecahan dan dengan berlaku .
  • Untuk sebarang bilangan bulat p dan p, dan m bilangan bulat positif berlaku Bilangan pecahan disebut sebagai bilangan pokok.
  • Untuk sebarang bilangan bulat p, q dengan dan m, n bilangan bulat positif berlaku sifat-sifat berikut.


  • Penjumlahan dan pengurangan pecahan desimal dilakukan pada masing-masing nilai tempat dengan cara bersusun. Urutkan angka-angka ratusan, puluhan, satuan, persepuluhan, perseratusan dan seterusnya dalam satu kolom.
  • Hasil kali bilangan desimal dengan bilangan desimal diperoleh dengan cara mengalikan bilangan tersebut seperti mengalikan bilangan bulat. Banyak desimal hasil kali bilangan-bilangan desimal diperoleh dengan menjumlahkan banyak tempat desimal dari pengali-pengalinya.
  • Bentuk baku bilangan lebih dari 10 dinyatakan dengan  dengan dan n bilangan asli.
  • Bentuk baku bilangan antara 0 sampai dengan 1 dinyatakan dengan dengan dan n bilangan asli.

Rumus ALJABAR - MATEMATIKA kelas VII

A. BENTUK ALJABAR dan UNSUR-UNSURNYA

Bentuk ALJABAR adalah suatu bentuk matematika yang dalam penyajiannya memuat huruf-huruf untuk mewakili bilangan yang belum diketahui. Bentuk aljabar dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang tidak diketahui seperti banyaknya bahan bakar minyak yang dibutuhkan sebuah bis dalam tiap minggu, jarak yang ditempuh dalam waktu tertentu, atau banyaknya makanan ternak yang dibutuhkan dalam 3 hari, dapat dicari dengan menggunakan aljabar.

A. UNSUR - UNSUR ALJABAR 
 1. Variabel, Konstanta, dan Faktor
Perhatikan bentuk aljabar 5x + 3y + 8x – 6y + 9. Pada bentuk aljabar tersebut, huruf x dan y disebut variabel. Variabel adalah lambang pengganti suatu bilangan yang belum diketahui nilainya dengan jelas. Variabel disebut juga peubah. Variabel biasanya dilambangkan dengan huruf kecil a, b, c, ..., z.
Adapun bilangan 9 pada bentuk aljabar di atas disebut konstanta. Konstanta adalah suku dari suatu bentuk aljabar yang berupa bilangan dan tidak memuat variabel. Jika suatu bilangan a dapat diubah menjadi a = p X q dengan a, p, q bilangan bulat, maka p dan q disebut faktor-faktor dari a.
Pada bentuk aljabar di atas, 5x dapat diuraikan sebagai 5x = 5 X x atau 5x = 1 X 5x. Jadi, faktor-faktor dari 5x adalah 1, 5, x, dan 5x. Adapun yang dimaksud koefisien adalah faktor konstanta dari suatu suku pada bentuk aljabar. Perhatikan koefisien masing-masing suku pada bentuk aljabar 5x + 3y + 8x – 6y + 9. Koefisien pada suku 5x adalah 5, pada suku 3y adalah 3, pada suku 8x adalah 8, dan pada suku –6y adalah –6.

2. Suku Sejenis dan Suku Tak Sejenis

a) Suku adalah variabel beserta koefisiennya atau konstanta pada bentuk aljabar yang dipisahkan oleh operasi jumlah atau selisih.
Suku-suku sejenis adalah suku yang memiliki variabel dan pangkat dari masing-masing variabel yang sama. Contoh: 5x dan –2x, 3a2 dan a2, y dan 4y, ...
Suku tak sejenis adalah suku yang memiliki variabel dan pangkat dari masing-masing variabel yang tidak sama. Contoh: 2x dan –3x2, –y dan –x3, 5x dan –2y, ...
b) Suku satu adalah bentuk aljabar yang tidak dihubungkan oleh operasi jumlah atau selisih. Contoh: 3x, 2a2, –4xy, ...
c) Suku dua adalah bentuk aljabar yang dihubungkan oleh satu operasi jumlah atau selisih. Contoh: 2x + 3, a2 – 4, 3x2 – 4x, ...
d) Suku tiga adalah bentuk aljabar yang dihubungkan oleh dua operasi jumlah atau selisih. Contoh: 2x2 – x + 1, 3x + y – xy, ...
Bentuk aljabar yang mempunyai lebih dari dua suku disebut suku banyak.
B. OPERASI HITUNG PADA ALJABAR
1. Penjumlahan dan Pengurangan Bentuk Aljabar
Pada bentuk aljabar, operasi penjumlahan dan pengurangan hanya dapat dilakukan pada suku-suku yang sejenis. Jumlahkan atau kurangkan koefisien pada suku-suku yang sejenis.
2. Perkalian
Perlu kalian ingat kembali bahwa pada perkalian bilangan bulat berlaku sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan, yaitu a X (b + c) = (a X b) + (a X c) dan sifat distributif perkalian terhadap pengurangan, yaitu a X (b – c) = (a X b) – (a X c), untuk setiap bilangan bulat a, b, dan c. Sifat ini juga berlaku pada perkalian bentuk aljabar.
3. Perpangkatan
Coba kalian ingat kembali operasi perpangkatan pada bilangan bulat. Operasi perpangkatan diartikan sebagai perkalian berulang dengan bilangan yang sama. Hal ini juga berlaku pada perpangkatan bentuk aljabar. Pada perpangkatan bentuk aljabar suku dua, koefisien tiap suku ditentukan menurut segitiga Pascal. Misalkan kita akan menentukan pola koefisien pada penjabaran bentuk aljabar suku dua (a + b)n, dengan n bilangan asli.
Perhatikan uraian berikut:

Pada segitiga Pascal tersebut, bilangan yang berada di bawahnya diperoleh dari penjumlahan bilangan yang berdekatan yang berada di atasnya.
4. Pembagian
Hasil bagi dua bentuk aljabar dapat kalian peroleh dengan menentukan terlebih dahulu faktor sekutu masing-masing bentuk aljabar tersebut, kemudian melakukan pembagian pada pembilang dan penyebutnya.
5. Substitusi pada Bentuk Aljabar
Nilai suatu bentuk aljabar dapat ditentukan dengan cara menyubstitusikan sebarang bilangan pada variabel-variabel bentuk aljabar tersebut.
6. Menentukan KPK dan FPB Bentuk Aljabar
Coba kalian ingat kembali cara menentukan KPK dan FPB dari dua atau lebih bilangan bulat. Hal itu juga berlaku pada bentuk aljabar. Untuk menentukan KPK dan FPB dari bentuk aljabar dapat dilakukan dengan menyatakan bentuk-bentuk aljabar tersebut menjadi perkalian faktor-faktor primanya. Perhatikan contoh berikut:
C. PECAHAN BENTUK ALJABAR
1. Menyederhanakan Pecahan Bentuk Aljabar
Suatu pecahan bentuk aljabar dikatakan paling sederhana apabila pembilang dan penyebutnya tidak mempunyai faktor persekutuan kecuali 1, dan penyebutnya tidak sama dengan nol. Untuk menyederhanakan pecahan bentuk aljabar dapat dilakukan dengan cara membagi pembilang dan penyebut pecahan tersebut dengan FPB dari keduanya.
2. Operasi Hitung Pecahan Aljabar dengan Penyebut Suku Tunggal
a. Penjumlahan dan pengurangan
Pada bab sebelumnya, kalian telah mengetahui bahwa hasil operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan diperoleh dengan cara menyamakan penyebutnya, kemudian menjumlahkan atau mengurangkan pembilangnya. Kalian pasti juga masih ingat bahwa untuk menyamakan penyebut kedua pecahan, tentukan KPK dari penyebut-penyebutnya. Dengan cara yang sama, hal itu juga berlaku pada operasi penjumlahan dan pengurangan bentuk pecahan aljabar. Perhatikan contoh berikut:


b. Perkalian dan pembagian
Perkalian pecahan aljabar tidak jauh berbeda dengan perkalian bilangan pecahan. Perhatikan contoh berikut:
c. Perpangkatan pecahan bentuk aljabar
Operasi perpangkatan merupakan perkalian berulang dengan bilangan yang sama. Hal ini juga berlaku pada perpangkatan pecahan bentuk aljabar. Perhatikan contoh berikut:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

My Biodata


                             MY BIODATA
      Today ,Iwant to tell you about my self.       My name is Elzzan. My full name is Elzzan Novia Eka Fatmala. I come from Padomasan. I was born on November 6 2000. I am 13 years old. I study in SMPN 1 Yosowilangun. I am in class 7b. My hobby is reading and writing.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments